PKI merupakan partai Stalinis yang terbesar di seluruh dunia, di
luar Tiongkok dan Uni Sovyet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta,
ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol
pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan
petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk
pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan
pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan
pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno
menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan
dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata
dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting.
Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut
"Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia
mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis,
Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi
Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis
nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan
petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang
mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi
terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
PKI
telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno
untuk memperkuat dukungan untuk rezim Demokrasi Terpimpin dan, dengan
persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk "Angkatan
Kelima" dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer
menentang hal ini.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI
makin lama makin berusaha menghindari bentrokan-bentrokan antara
aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI
mementingkan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN
Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di
bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan
diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau
semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara"
subyek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965
ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para tuan tanah besar.
Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para
pemilik tanah. Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner
itu, PKI mengimbau semua pendukungnya untuk mencegah pertentangan
menggunakan kekerasan terhadap para pemilik tanah dan untuk
meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur lain, termasuk angkatan
bersenjata.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita
perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik AS. Kepemimpinan PKI
menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang
sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota
kabinet.
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para
petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus
mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah
merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Aidit
memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di
mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang
bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan
unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".
Rejim
Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang
aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena
industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak
lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan
rejim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima"
di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang
bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri
sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu,
kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang
makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka,
depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan
memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI
bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan
bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI
tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia.
Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus
militer dan negara sedang diubah untuk memecilkan aspek anti-rakyat
dalam alat-alat negara.
Peristiwa
Pada 30
September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh
dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana
(Cakrabirawa) yang loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh
Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu,
Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan
tersebut.
Korban
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
• Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani,
• Mayjen TNI R. Suprapto
• Mayjen TNI M.T. Haryono
• Mayjen TNI Siswondo Parman
• Brigjen TNI DI Panjaitan
• Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo
Jenderal
TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah seorang target namun dia
selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma
Suryani Nasution dan ajudan AH Nasution, Lettu Pierre Tandean tewas
dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
• AIP Karel Satsuit Tubun
• Brigjen Katamso Darmokusumo
• Kolonel Sugiono
Para
korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede,
Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3
Oktober.
Pasca kejadian
Pada tanggal 1 Oktober 1965
Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan
Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan
Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada
tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan
"persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan
para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite
Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi
massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan
angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama
"Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin
Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk
Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa
kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat
tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk
tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti
secara mendalam."
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di
bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala
kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan
pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi
terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari
rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11
Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha
perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan
negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia
dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para
kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan
para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam
urusan dalam negeri Indonesia."
Lima bulan setelah itu, pada
tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas
melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk
mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan
dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak
terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI.
Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai
presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967. Kepemimpinan
PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim
Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan
dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya
diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Dalam
bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI,
atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua
partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani
Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk
disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa
Tengah, Jawa Timur dan Bali. Berapa jumlah orang yang dibantai tidak
diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000
orang, sementara lainnya 2.000.000 orang. Namun diduga
setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam
bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh
tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim
sayap-kanan melakukan pembunuhan-pembunuhan massa, terutama di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di
dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat
tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara
500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah
menjadi korban pembunuhan dan puluhan ribu dipenjarakan di kamp-kamp
konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu
militer yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung
PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka,
majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan
dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan
persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang
lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini
bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar
terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat
secara serius."
Di Pulau Bali, yang sebelum itu dianggap
sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di
permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai
Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini.
Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita
tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam
galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para
petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang
sudah hangus. Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk
membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di
kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Cina" terjadi.
Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi
mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini
dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani
dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000
orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969.
Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk beberapa
dozen sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino,
Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum
mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Sesudah kejadian
tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30
September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari
Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah
film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun
televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain
itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen
Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di
makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi
bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi
tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006,
diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa
pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok
Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka
memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas
academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban
tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo
Sasongko, Sasmaja, dan Putmainah.
sumber : https://www.facebook.com/notes/pengetahuan-umum-cerita-lucu/sejarah-dan-kronologis-peristiwa-g-30-spki/151945124904105/
About author: Ceyron Louis
Cress arugula peanut tigernut wattle seed kombu parsnip. Lotus root mung bean arugula tigernut horseradish endive yarrow gourd. Radicchio cress avocado garlic quandong collard greens.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: